Benarkah dunia belum berakhir meski buah hati belum hadir?
Dalam budaya Indonesia, bisa dibilang rumah tangga tidak komplet tanpa kehadiran anak. Bahkan, di suku atau ras tertentu, memiliki anak berjenis kelamin pria itu “wajib”. Ini jauh berbeda dengan masyarakat Barat, terutama Eropa. Bagi mereka, memiliki anak merupakan tantangan dan tanggung jawab yang sangat besar. Sehingga ketika mereka merasa tidak siap, mereka lebih memilih tidak memiliki keturunan atau paling tidak menundanya.
Di Indonesia, kata Elly Nagasaputra, SE, MK. , belakangan ini cukup banyak pasangan suami-istri yang memutuskan menunda atau bahkan memilih tidak mempunyai anak. “Atau, kalau mempunyai anak, cukup satu. Alasannya beragam, dari soal biaya hidup yang mahal atau karena mereka memang ingin fokus dengan diri mereka,” katanya.
Ada dua tipe pasangan suami-istri yang tidak memiliki anak. Pertama, pasangan suami-istri yang memang tidak bisa memiliki anak secara biologis karena secara medis tidak subur (infertil). Kedua, pasangan suami-istri yang memang memilih tidak memiliki anak, sekalipun keduanya sehat secara medis.
Tekanan Luar
Pada pasangan suami-istri tipe pertama, yaitu yang tidak subur, ketidakhadiran momongan bisa memunculkan beragam dampak. Salah satunya, menimbulkan stres. Pasalnya, dalam budaya Indonesia, anak merupakan kelengkapan sebuah rumah tangga. Sehingga tekanan yang diterima karena tidak memmempunyai anak sangat berat, baik dari dalam diri maupun dari luar.
Dari dalam diri, suami atau istri akan merasa gagal sebagai manusia. Mereka juga akan merasa malu. Misalnya, ketika berkumpul dengan keluarga besar dan ditanya soal momongan. Jika istri yang tidak subur, ia akan merasa dirinya yang bersalah.
“Tidak mempunyai anak juga bisa mengganggu relasi suami istri. Misalnya, istri yang tidak subur akan merasa bersalah, sehingga timbul konflik di dalam batinnya. Begitu juga sebaliknya, jika suami yang tidak subur, ia jadi tidak pede , merasa bersalah terhadap istri, dan sebagainya,” lanjut Elly.
Dampak berikutnya, takut menghadapi hari tua. Pikiran yang muncul dalam benak adalah, “Siapa yang merawat ketika kita tua kelak?” Suami atau istri juga bisa frustrasi saat mereka tak bisa menghilangkan rasa malu dan takut. Bisa juga menimbulkan rasa marah dan rasa tidak terima yang berujung kepada mengasihani diri sendiri (self pity ).
Sementara faktor dari luar misalnya tekanan dari keluarga, teman, atau lingkungan. Kemungkinan ini sangat besar terutama di Indonesia di mana hubungan kekerabatan masih tinggi. Misalnya, setiap bertemu kerabat atau teman selalu ditanya, “Jeng, sekarang anaknya sudah berapa?”
Alasan Kuat & Logis
Tipe kedua adalah pasangan suami-istri yang memang memutuskan tidak memiliki momongan. Sepuluh tahun lalu, pilihan ini mungkin aneh, khususnya bagi kita di dunia Timur. Akan tetapi, sekarang sudah mulai banyak dan beranjak menjadi tren, khususnya bagi pasangan suami-istri yang hidup di kota besar.
Ada banyak alasan kenapa mereka memilih tidak mempunyai anak, antara lain karena mereka ingin hidup nyaman. “Mereka sangat fokus dengan diri mereka, mengenal persis jati diri mereka, tahu target hidup mereka, dan fokus untuk itu,” papar Elly. Pasangan tipe ini juga tidak ingin kehadiran anak menghilangkan fokus dalam mencapai target. “Karena anak adalah tanggung jawab yang besar,” kata Elly.
Alasan berikutnya, ada orang yang memiliki idealisme atau standar hidup tinggi. Tapi, di lain sisi, mereka merasa masih memiliki banyak kekurangan. Dalam benaknya, muncul pemikiran semacam, “Saya ini masih banyak kekurangan, bagaimana saya mampu memikul tanggung jawab besar melahirkan dan mendidik anak menjadi manusia yang benar?” Di satu sisi, pemikiran ini baik padahal tentu saja tidak ada orang yang sempurna 100 persen.
Yang jelas, ketika memutuskan tidak mempunyai anak, mereka memiliki alasan yang masuk akal dan kuat. Bisa berupa pekerjaan atau aktivitas mereka sangat berharga sehingga lebih baik mereka tidak mempunyai keturunan. Atau, idealisme yang mereka perjuangkan benar-benar bermakna sehingga mereka mengenyampingkan kesenangan pribadi.
Sepakat Berkomitmen
Ada pula orang atau pasangan yang ingin seluruh potensinya benar-benar dicurahkan untuk mencapai misi yang sudah mereka tetapkan. “Kehadiran anak bukanlah misi mereka. Biasanya, ini terjadi pada orang-orang yang sangat concern (peduli) terhadap isu tertentu. Contohnya, para pecinta satwa yang rela hidup di hutan bersama satwa yang dilindungi,” lanjut Elly.
Tipe pasangan ini biasanya juga orang-orang yang sangat peduli terhadap nilai-nilai kebebasan, tidak tergantung, serta mempunyai kontrol penuh terhadap diri sendiri. Nilai-nilai ini kemudian mereka pegang erat, sehingga mereka memilih tidak mempunyai anak. Contoh kecil, mereka tidak bisa tidur ketika anak menangis, yang berarti mereka tidak memiliki kontrol penuh terhadap diri mereka sendiri.
Alasan ekonomi dan kesehatan juga menjadi alasan pasangan suami-istri memilih tidak mempunyai anak. Misalnya, penderita penyakit tertentu yang bisa menular ke anak. Akhirnya, mereka mendedikasikan hidup untuk komunitas tertentu dan rela tidak mempunyai anak.
Selain itu, ada pasangan suami-istri yang memilih tidak mempunyai anak untuk sementara, karena mereka tidak yakin terhadap pasangan hidupnya. Misalnya, pasangan selalu terlibat konflik yang tidak selesai-selesai. “Istilahnya, perkawinan yang penuh risiko. Akibatnya mereka memilih tidak mempunyai anak, karena takut tidak bisa langgeng dengan pasangannya,” lanjutnya.
Apa pun latar belakangnya, menurut Elly, membuat komitmen dengan pasangan termasuk sulit. Apalagi kalau pasangannya sehat dan mampu secara ekonomi. Oleh karena itu, sebaiknya bicarakan dulu sebelum menikah. Kalau pasangannya tidak satu visi, tentu sulit. Hal ini juga tidak baik bagi relasi suami-istri.
Di sinilah konseling pranikah menjadi penting. Semuanya dibicarakan, dari seks, uang, karier, perbedaan iman, termasuk soal anak. “Apakah akan langsung mempunyai anak, kapan mempunyai anak, berapa, pakai babysitter atau dibesarkan sendiri, dan sebagainya,” kata Elly.
Ubah Jadi Positif
Namun, di sisi lain, tidak memiliki anak bukanlah akhir segalanya. Jika pasangan suami-istri bisa berpikir positif, hubungan pun akan semakin harmonis dan sisi pribadi lebih maju. Misalnya, konsentrasi penuh pada karier karena tidak mempunyai kesibukan merawat dan mendidik anak.
“Tidak perlu pulang cepat, tidak perlu memikirkan urusan anak berangkat sekolah setiap pagi, dan sebagainya. Jadi, tidak mempunyai anak bukanlah akhir segalanya. Juga tidak selalu membuat rumah tangga jadi berantakan atau bubar, asal suami-istri bisa mengubah pola pikirnya menjadi positif,” jelas Elly.
Ketidakhadiran anak seharusnya tidak merenggangkan relasi suami-istri. Apalagi kalau ketika menikah, keduanya menerima pasangan apa adanya. “Harusnya, mereka bisa saling berpegangan tangan menghadapi dan mengatasinya. Misalnya, apakah memutuskan akan tetap berdua saja, mengadopsi anak, mengambil anak kerabat, dan sebagainya,” tambah family and life counselor ini.
Yang penting, pasangan harus sampai pada kesadaran bahwa semua adalah rencana Tuhan. Biasanya, pasangan yang tidak mempunyai anak, khususnya karena faktor ketidaksuburan, akan melewati beberapa fase atau kurva. Pertama, marah-marah, kemudian penyangkalan (denial ), sedih yang berlarut-larut sampai depresi, hingga tahap menerima dengan kesadaran dan berserah diri pada Tuhan.
“Jangan lupa untuk tetap membina kedekatan emosional dengan pasangan. Banyak cara bisa dilakukan, misalnya memilih hobi yang sama, belajar hal-hal baru bersama, kreatif melakukan sesuatu yang baru bersama,” katanya.
Yang tak kalah penting, kompak dan sehati menghadapi tekanan pihak luar. Misalnya, kalau ada orang yang bertanya atau menyindir , keduanya harus kompak dan saling membantu. Kemudian, pikirkan dan buatlah rencana hidup ke depan. “Setelah tidak mempunyai anak, kita mau ngapain ? Buat target, misalnya merenovasi rumah, berpesiar bersama, dan sebagainya. Pokoknya, rencanakan dan lakukan hal-hal yang exciting (menyenangkan) bagi mereka berdua,” saran Elly.
Hasto Prianggoro